Marak Terbongkar Praktik Pungutan di Sekolah Negeri, Pentas Gugat Kritik Tajam Pungutan Berkedok Sumbangan


Kabupaten Madiun, klikmadiun.com - Maraknya pemberitaan yang mengungkap adanya pungutan oleh Komite Sekolah di sekolah negeri belakangan ini, seolah menjadi fenomena yang memperjelas kondisi dunia pendidikan di Indonesia.


Sumbangan komite ini sering dikait-kaitkan dengan Pungutan yang jelas dilarang oleh Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.


Beberapa pemberitaan dan laman informasi menyebutkan penggalangan dana yang dilakukan Komite Sekolah memiliki alasan bervariasi, antara lain yaitu mencukupi kegiatan sekolah, memenuhi keinginan oknum Kepala Sekolah untuk memberi peninggalan berupa bangunan di sekolah atau memang karena kebutuhan peningkatan fasilitas sekolah. Ada juga yang berprinsip untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Menarik bukan? Alasan - alasan tersebut semakin menggambarkan mirisnya dunia pendidikan Indonesia. 


Penggalangan dana yang jumlahnya ditentukan dan bersumber dari orang tua atau wali murid yang dilakukan secara kompak oleh komite di sekolah-sekolah negeri telah menunjukkan betapa situasi pendidikan di Indonesia wajar disebut sedang tidak baik-baik saja.


Mau dibawa kemana dunia pendidikan Indonesia?

Jurnalis klikmadiun.com secara eksklusif mewawancarai Koordinator Pentas Gugat Indonesia (PGI) yang juga seorang Guru PJOK di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di Madiun. Selain itu, Herukun juga aktif di berbagai kegiatan sosial yang concern melawan korupsi. Kali ini ia akan memberikan tanggapan terkait pungutan berkedok sumbangan yang tengah populer.

foto : Herukun, Koordinator Pentas Gugat 

Dalam keterangannya, Herukun mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu jenis layanan dasar yang wajib disediakan negara. Tetapi alokasi anggaran 20 persen APBN/APBD untuk sektor pendidikan, sepertinya belum mencukupi. Sebab itulah dibuka ruang partisipasi masyarakat dalam bentuk penggalangan dana dengan tetap mengacu pada peraturan yang berlaku.


Dalam hal penggalangan dana, pemerintah tidak melarang apabila Satuan Pendidikan di bawah naungan pemerintah melakukan penggalangan dana berupa sumbangan, terlebih terdapat kegiatan yang belum tercover oleh Bantuan Operasional Khusus (BOS). Namun pemerintah melarang apabila hal tersebut dilakukan dengan cara memungut, sebab hal itu kategori pungli.


Menurut Herukun, terdapat perbedaan katagori sumbangan dan pungutan.


Sumbangan

Sebagaimana tercantum pada pasal 1 ayat (5) Permendikbud 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang dimaksud sumbangan adalah pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orang tua/walinya baik perorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan.


Bahwasannya komite sekolah hanya diberikan kewenangan menggalang dana dalam bentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan. Hal ini berdasarkan ketentuan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, Pasal 10 ayat (2) disebutkan, bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud, berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan berbentuk pungutan.


Pungutan

Arti pungutan dalam Permendikbud No. 44 Tahun 2012 pasal 1 adalah penerimaan biaya pendidikan yang berasal dari peserta didik atau orang tua/wali murid. Pungutan dapat berupa uang, barang, atau jasa.


Kemudian dalam PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan PP No. 18 Tahun 2022, dan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, menyatakan yang disebut Pungutan Pendidikan adalah penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.


"Jadi sangat jelas ya sudah diatur sedemikian rupa dan tidak perlu ada tafsir lain untuk membedakan arti sumbangan dan pungutan", kata Herukun, Jumat (21/2/2025).


Larangan Pungutan di Sekolah Negeri

Pasal 6 poin (1) pada Permendikbud No. 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, dijelaskan bahwa pembiayaan pendidikan dengan melakukan pungutan hanya dibolehkan untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Sedangkan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat/daerah tidak diperkenankan untuk menarik pungutan. Hanya boleh menerima sumbangan dari masyarakat, sepanjang dia memenuhi kriteria untuk disebut sebagai sumbangan, yakni bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya oleh satuan pendidikan.


Permendagri No. 75 Tahun 2016 pasal 12 huruf (b), juga jelas menyatakan bahwa komite sekolah dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya.


Komite Sekolah dituntut Kreatif

Permendagri No. 75 Tahun 2016 pasal 3 huruf (b), menyebut tugas komite sekolah menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat baik perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri/maupun pemangku kepentingan lainnya melalui upaya kreatif dan inovatif.


Sehingga dikandung maksud bahwa penggalangan dana yang dilakukan oleh komite sekolah harus memilih target pihak-pihak di luar orang tua/wali murid, dan tentu saja tidak mengikat.


"Aturan wajib dipedomani bahwa penggalangan dana dengan sistem pungutan tidak boleh dijalankan karena memiliki sifat memaksa, besaran yang ditentukan, terlebih ada jadwal pembayarannya", jelas Herukun.


Pungli Berkedok Sumbangan Berdasarkan Kesepakatan Komite di Sekolah Negeri

Azas partisipasi adalah kesukarelaan peran, sehingga partisipasi orang tua/wali murid dalam penyelenggaraan pendidikan harus dimaknai sebagai keterpanggilan hati, bukan kewajiban, terlebih dikait-kaitkan potensi siswa kehilangan hak dalam proses belajar mengajar.


Pungutan sah jika memiliki dasar hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan-undangan, dan dipungut oleh orang/petugas yang memiliki kewenangan untuk memungut.


"Apa dasar hukum komite sekolah negeri melakukan pungutan?," tanyanya dalam ungkapan retoris.


Sekolah Negeri adalah lembaga publik yang tunduk pada hukum administrasi publik, sehingga komite sekolah tidak bisa melakukan pungutan hanya semata-mata berdasar kesepakatan bersama orang tua/wali murid, kecuali jika sekolah bukan lembaga publik dan tunduk pada hukum privat.


Lebih jauh, aturan tentang membuat kesepakatan sudah diatur dan harus mengacu sebagaimana dalam Pasal 1320 Hukum Perdata.


"Membuat kesepakatan antara komite sekolah dengan orang tua/wali murid adalah modus yang biasa dipakai komite untuk melakukan pungutan," lanjutnya. 


Menurutnya, komite dan pihak sekolah sebenarnya sudah paham tentang larangan pungutan di sekolah, hal ini dibuktikan dengan tidak dibuatkannya bukti pembayaran atau kuitansi setiap kali orang tua atau wali murid mencicil pungutan. Bilapun ada slip/kuitansi pembayaran tetapi lebih banyak tidak dijelaskan pembayaran untuk apa.


"Ini pembangkangan yang dilakukan secara sengaja terhadap peraturan menteri," tegasnya.


Sangsi Pelaku Pungli dan Peran APH

Pelaku pungli bisa dijerat dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, pasal 12 huruf (e) dengan ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun.


Pelaku pungli juga bisa dijerat dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan. Pelaku pungli berstatus PNS dapat dijerat dengan pasal 423 KUHP dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.


Sedangkan hukuman administratif bagi pelaku pelanggaran maladministrasi termasuk pelaku pungli dapat dikenakan pasal 54 hingga pasal 58 sesuai UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, penurunan pangkat, penurunan gaji berkala, hingga pelepasan dari jabatan.


"Kami tunggu peran Aparat Penegak Hukum (APH, red) dalam memberantas pungli di sekolah, terlebih berdasarkan informasi terdapat Sekolah Negeri justru menunjuk oknum APH menjadi Ketua Komite yang diduga mengkomando melakukan pungutan di sekolah," pungkasnya. (Klik-2)

Post a Comment

أحدث أقدم