KlikMadiun - Kasus penyimpangan
pembayaran jasa tenaga harian lepas (THL) PDAM Tirta Taman Sari Kota Madiun
memasuki babak baru.
Terdakwa Sandi Kunariyanto (SK)
yang merupakan mantan Kabag Transmisi dan Distribusi (Trandis) mengajukan
pledoi atau nota pembelaan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dituntut 5
tahun pidana kurungan dan ganti rugi sebesar 178 juta rupiah, membuat terdakwa
dan tim kuasa hukumnya buka suara.
Menurut Kuasa Hukum SK, Indra
Priangkasa tuntutan JPU sangat tidak rasional dan terkesan tidak
mempertimbangkan fakta persidangan.
“Menurut saya tidak rasional,
saya tidak tahu cara berpikirnya Jaksa. Kalau dakwaan itu dasarnya BAP, tapi
kalau tuntutan itu dasarnya fakta persidangan. Jadi tuntutan itu uraiannya
jangan sama dengan dakwaan,”terang Indra saat ditemui di kantornya yang berada
di jalan Parikesit nomor 56, Kamis (16/6/2022).
Dalam pledoinya, tercantum
beberapa fakta persidangan yang mengungkap kebenaran di tubuh struktural perusahaan
plat merah itu. Bahkan ada komponen-komponen yang seharusnya menjadi bukti
bahwa terdakwa tidak melakukan penyimpangan anggaran Bidang Trandis dalam
pembayaran THL.
Dijelasakan Indra, bahwa sejak
tahun 1981 hingga 2020 pembayaran jasa THL merupakan bagian dari tanggung jawab
Kasubag Pemasangan dan Pemeliharaan
Sambungan Pelanggan. Sehingga bisa diartikan tidak ada mata anggaran khusus
untuk upah THL. Bahkan dalam kurun waktu puluhan tahun itu, keberadaan THL sebagai salah satu ujung tombak
pelayanan tidak ada peraturan baku yang
mengikat.
Direktur Utama sebagai pemegang
jabatan tertinggi dalam direksi pun tak jua menerbitkan surat keputusan dan
atau kesepakatan dengan para tenaga harian lepas. Hal ini jelas melanggar pasal
12 Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja waktu tertentu dan pasal 10 yaitu wajib membuat perjanjian
kerja Harian Lepas secara tertulis dengan para buruh atau pekerja.
“THL itu garda terdepan, tapi perusahaan tidak mempunyai
tanggung jawab seperti layaknya karyawan tetap atau kontrak. Karena THL memang
tidak dilindungi UU Ketenagakerjaan. Tidak pernah ada produk hukum atau surat
keputusan direksi yang mengatur itu, baru di tahun 2021 diterbitkan setelah ada
perkara ini,”ungkapnya.
Terkait biaya
pembayaran THL, Indra mengungkapkan bahwa anggarannya diambil dari biaya
pemeliharaan di bagian Trandis sesuai keputusan Direksi. Hal itu dibenarkan
beberapa direktur lain yang menyebutkan pengelolaan keuangan serupa terjadi
dari tahun ke tahun.
“Tidak ada pelanggaran, karena di daftar anggaran PDAM tidak ada mata anggaran khusus untuk THL. Karena THL masuk di mata anggaran biaya pemeliharaan. Sedangkan komponen pemeliharaan bukan upah saja,”tandas Indra.
Lebih lanjut Indra menerangkan pembayaran
THL sebenarnya berdasarkan surat perintah kerja pemeliharaan. Kemudian dari
biaya itu dilakukan penyisihan untuk operasional THL.
Selain itu, berdasarkan keterangan saksi-saksi
dari Sub Bagian Pemeliharaan yaitu Agus Eko dan Yoyok Yulianto mengatakan bahwa
terdakwa tidak pernah memerintahkan untuk melakukan penyisihan.
“Jadi menyangkut pelaku perbuatan
seharusnya Kasubag, karena yang melakukan penyisihan. Istilah saya error in
personal, jadi jaksa salah dalam menentukan tersangka,”ujarnya.
Terakhir, Indra menyampaikan
pandangannya terkait jajaran direksi dan staf yang telah mengembalikan uang
ganti rugi. Ia menegaskan bahwa pengembalian uang tidak bisa menghilangkan
pidana.
“Kalau SK didakwa karena menerima
uang penyisihan seharusnya yang lain juga, karena pengembalian itu tidak
menghapuskan pidananya,”tegasnya.
Walaupun para penerima uang
penyisihan biaya pembayaran THL beralasan tidak tahu menahu soal sumber dana
yang diterima, pria yang berpengalaman dalam memenangkan dua kasus besar tindak pidana
korupsi hingga kliennya diputuskan bebas ini menyebutkan bahwa hal itu sangat irasional.
“Tidak mengetahui sumbernya tapi
diterima, itu sangat tidak logis apalagi penerimaan itu terjadi
berkali-kali,”pungkasya.(klik-2)
Posting Komentar